Bettina Reiber menekankan adanya hubungan antara jiwa, imajinasi dan seni dalam artikelnya yang berjudul Psyche, Imagination, and Art. Karena karya seni cukup rumit untuk didefinisikan, ia mengkaitkannya dengan jiwa dan imajinasi. Reiber merujuk pada tulisan Jung yang berjudul The Spirit in Man, Art and Literature, dan menyimpulkan bahwa seni adalah ekpresi kreativitas. Kreativitas mampu disampaikan ke penonton melalui penjiwaan yang dipelihara oleh imajinasi. Oleh karena itu, artikel Reiber ini dapat digunakan untuk mendalami salah satu karya apropriasi Agus Suwage yang berjudul Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi. Karya ini menampilkan gerobak berisi penuh rokok dan potret diri dari 27 figur pesohor yang sedang menikmati rokok. Konsep karya ini terinspirasi dari sajak fenomenal berjudul Aku yang merupakan karya Chairil Anwar.
Lukisan aliran kontemporer Indonesia karya pelukis Agus Suwage. Kontak WA kami untuk mendapatkan lukisan berbagai pelukis kontemporer Indonesia kelahiran tahun 1960an - 1990an. |
Pendahuluan
Hubungan antara jiwa, imajinasi dan seni dipaparkan oleh Bettina Reiber dalam artikelnya yang berjudul Psyche, Imagination, and Art. Pendefinisian karya seni tidak mudah untuk dijelaskan begitu saja. Oleh sebab itu, Reiber mengkaitkannya dengan jiwa dan imajinasi. Reiber merujuk pada tulisan Jung yang berjudul The Spirit in Man, Art and Literatur, dan menyimpulkan bahwa seni adalah ekpresi kreativitas. Kreativitas mampu disampaikan ke penonton melalui penjiwaan yang dipelihara oleh imajinasi.
Dalam era seni kontemporer sekarang ini, kritik seni mengenai jiwa dan imajinasi dalam seni dapat diterapkan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan kritik karya seni seharusnya tidak hanya dilakukan secara formalistik atau sebatas menilai kualitas visual objeknya saja. Pendekatan yang mendalam akan dapat membantu pemahaman mengenai apa itu seni dan apa yang bukan, dengan masih melibatkan pentingnya kepekaan perasaan dalam mengapresiasi karya. Karya seni kontemporer menyajikan wacana pubilk yang lebih lugas seperti tema-tema mengenai konsumerisme, globalisme, kesukuan, feminisme, budaya homoseksualitas, post kolonialisme dan masalah identitas. Teori seni mengenai karya-karya kontemporer lebih dari sekadar membahas apakah seni dapat didefinisikan untuk menganalisa perkembangan sosial yang sedang terjadi.
Pada akhir tahun 1960an, muncul wacana bahwa suatu benda dapat disebut karya seni apabila mencakup tiga kriteria. Kriteria pertama, benda tersebut harus dapat membuat penonton bertanya-tanya ‘apakah ini seni?. Kriteria kedua, sang seniman harus mengumumkan bahwa benda tersebut adalah karya seni dengan menjelaskan konsepnya. Sedangkan kriteria terakhir, karya itu harus sudah dipamerkan di ruang seni. Tiga kriteria tersebut dapat digunakan sebagai acuan teori dalam membahas suatu karya seni.
Sebagai makhluk individu, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas unsur jasmani (raga) dan rohani (jiwa) yang tidak dapat di pisahkan. Pada dasarnya manusia diberi kemampuan akal, pikiran dan perasaan sehingga sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya. Namun manusia juga merupakan makhluk sosial yang berarti manusia mempunyai kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Dengan kata lain manusia tidak bisa hidup seorang diri dan membutuhkan kehadiran orang lain atau figur yang dapat membantunya untuk mempelajari lebih banyak hal dalam kehidupan. Banyak ilmu dan gagasan untuk dituangkan menjadi karya seni bagi seniman melalui jelajah pengetahuan serta ruang imajinasi dari figur-figur pesohor yang menginspirasi.
Ungkapan ide dalam berkarya dapat berupa bermacam-macam bentuk menurut gaya atau corak dan aliran serta kemampuan pelukisnya. Agus Suwage, salah satu perupa papan atas Indonesia, membuat karya, bertajuk Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi. Karya ini berupa gerobak berisi penuh rokok dan potret diri dari 27 figur pesohor yang ditampilkan dengan sedang menikmati rokok. Karya ini terinspirasi dari puisi legendaries berjudul Aku karya Chairil Anwar. Jumlah 27 figur sekaligus melambangkan usia hidup pendek sang penyair.
Suwage memilih figur para pesohor tersebut untuk dijadikan gagasan penciptaan karya berdasarkan preferensi pribadinya. Tentu ada alasan-alasan personal seperti intensitas ketertarikannya pada kualitas karya, ideologi dan eksistensi figur-figur tersebut sebagai ketentuan Suwage dalam menentukan objek dalam karya. Karya yang dibuat pada periode 2005 - 2008 tersebut menggambarkan figure-figur para pesohor termasuk Munir, Kartini, Jim Morrison, Marilyn Monroe, Monalisa, Putri Diana, Ibu Theresa hingga para pemimpin dunia seperti Mao Tse-tung, Ho Chi Minh, Abraham Lincoln, dan Fidel Castro.
Proses pematangan gagasan Suwage, tentu tak lepas dari dukungan referensi berbagai macam buku, film, artikel, makalah, dan katalog. Selama proses penciptaan karya, ia terkesan memilih simbol, warna, bentuk maupun teknik, dengan teliti sehingga dapat dimengerti dan dibaca oleh orang lain agar gagasan yang diwujudkan dalam karya tersebut dapat tersampaikan kepada penikmat karya.
Pengalaman subjektif dari seorang seniman yang berpusat di sekitar kesadaran diri atau pikiran memperbolehkan adanya persepsi, imajinasi dan pemahaman tersendiri mengenai pilihan objek dalam karyanya. Begitu pula latar belakang Suwage yang merupakan penggemar rokok sangat mempengaruhi visualisasi karya ini. Penuangan gagasan didasarkan kesatuan pemikiran dari berbagai referensi serta penghayatan yang diramu lewat imajinasi dalam bentuk simbol melalui bahasa rupa.
Teori dan Metode
Ide atau gagasan merupakan dasar penciptaan suatu karya dalam proses berkarya. Dalam filsafat Plato yang disebut ide adalah pengertian umum yang menyatakan hakekat dari benda-benda dan hal-hal yang kita alami. Semua yang kita alami merupakan penjelmaan apa saja dari benda-benda dan hala-hal yang kita jumpai dalam kehidupan kita. Hakekat dari benda-benda dan hal-hal tersebut bersifat tangible (dapat dipahamkan) dan hanya dapat diketahui jika kita memahami ide-ide yang merupakan dasar bagi benda-benda dan hal-hal tersebut.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka ide merupakan dasar penciptaan karya seni. Berdasarkan ide inilah muncul proses cipta rupa dengan melihat, membandingkan, meneliti, mengamati dan bisa juga karena kebebasan untuk berimajinasi serta bermain-main dengan dunia khayal. Ini sesuatu yang memungkinkan untuk melihat bentuk dan kemudian berimajinasi dengan melibatkan kasat mata untuk memperhatikan bentuk yang terlihat. Dalam penciptaan lukisan, ide merupakan sebuah hal pokok yang menjadi pijakan.
Ungkapan gagasan dasar penciptaan karya berdasarkan buah dari pemikiran dan imajinasi mampu mewakilli isi hati sang seniman. Sehingga membawa pada pola pembentukan karakter dan ciri khas lukisan yang identik dengan penulis dan lingkungan yang mempengaruhinya. Realisasi Suwage dari pemikiran dan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk karyanya merupakan visualisasi dan interpretasi dari berbagai figur pesohor sebagai ide dalam penciptaan lukisan. Interogasi dilakukannya terhadap kultur kontemporer yang dikuasai citra: gambar, stereotip, ilusi, reproduksi, sinopsis, fantasi dan apropriasi sehingga menjadi refleksi dari karyanya.
Menurut sejarawan Robert S. Nelson, di sebutkan bahwa, mengapropriasi sesuatu adalah upaya yang melibatkan “pengambil – alihan”. Dalam seni rupa barat, istilah apropriasi sering merujuk pada penggunaan elemen-elemen pinjaman dalam suatu kreasi karya seni. Peminjaman elemen tersebut termasuk citraan atau gambar, bentukan atau gaya dari sejarah seni atau budaya populer, maupun material serta teknik-teknik dari lingkup bukan seni. Sejak dekade 1980-an istilah ini juga mengacu kepada yang lebih khusus, mengutip karya dari seniman lain untuk menciptakan suatu karya baru. Karya baru tersebut bisa atau tidak merubah imaji karya semula. Seperti contohnya kekaryaan seniman Amerika Utara 1970-an; Sherry Levine, Barbara Kruger atau Cindy Sherman.
Karya-karya seniman kontemporer dari Jepang, Yasumasa Morimura, juga dijadikan acuan kritik karya Suwage oleh mengenai rekonstruki karya-karya penting dalam sejarah seni yang dipadu dengan pemindahan tubuhnya sebagai objek baru dalam karya ciptaannya. Suwage juga mengacu pada Seni Pop di Inggris dengan inspirasi karya-karya yang diciptakan Andy Warhol, Jim Dine, Roy Lichtenstein, Tom Wesselmann, James Rosenquist dan Robert Indiana yang berlandaskan pada individualisme ekstrem, baik dalam hal sikap atau pun penggayaan yang tetap mempunyai perhatian umum terhadap wacana sekitar gambaran (imagery) media massa namun dalam visualisasinya dapat menimbulkan interpretasi baru bagi para penikmat karya.
Contoh klasik apropriasi dalam seni rupa Indonesia adalah Raden Saleh Sjarif Bustaman yang mempelajari seni lukis dari guru-guru di Eropa dan kemudian sempat tinggal di sana. Dari pengalaman hidup tersebut, terciptalah lukisan-lukisan yang terinspirasi bahkan meniru gaya klasik hingga romantisisme Eropa, dan terjadilah kontradiksi dalam perkembangan penciptaan karyanya, terutama dalam lukisan Penangkapan Diponegoro. Lukisan ini dibuatnya setelah melihat lukisan orang Belanda, Nikoolas Pieneman (1809-1860), yang merekam penaklukkan pemimpin perang Jawa, Pangeran Diponegoro tahun 1830, oleh tentara pemerintahan Hindia Belanda. Lukisan ini merupakan bentuk revisi dari karya sebelumnya. Para pengamat dan sejarawan seni beranggapan bahwa ada bentuk perlawanan politis dalam diri Saleh di Eropa ketika, mendengar dan melihat kenyataan politik di Hindia – Belanda terhadap bangsa pribumi.
Lukisan Penangkapan Diponegoro karya pelukis Raden Saleh. Kontak WA kami untuk mendapatkan berbagai lukisan old master Indonesia, mulai dari lukisan Basoeki Abdullah hingga Hendra Gunawan. |
Seniman : Raden Saleh
Judul : Penangkapan Pangeran Diponegoro
Tahun : 1857
Dimensi : 112 cm × 178 cm (44 in × 70 in)
Koleksi : Istana Merdeka, Jakarta, Indonesia
Berbagai macam citraan figur para pesohor dalam Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi dapat memasuki ruang-ruang pribadi Suwage melalui kemajuan teknologi dan informasi dalam media massa. Cakrawala tanpa batas ini diistilahkan sosiolog Arjun Appadurai sebagai technoscape dan mediascape, karena derasnya sirkulasi informasi dan teknologi media akhirnya mampu membentuk kenyataan lain dan berpotensi menyingkirkan / menutupi kenyataan sebelumnya.
Konstruksi citra figur-figur para pesohor ini menjadi persoalan yang menarik bagi Suwage untuk memasuki dunia imaji dan mengganggu kemapanan nilai pencitraan itu. Citra itu tetap diberi kesempatan menunjukan apa adanya seperti citra awal , tetapi “ jati dirinya “ kemudian telah terebut oleh “sang lain” , yaitu figur-figur ciptaannya. Suwage dengan artistic mengganggu kemapanan figur-figur feminin seperti Putri Diana dan Ibu Kartini dalam tampilan visual sedang merokok. Peniruan bentuk figur atau mimikri dalam karya Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi menjadi suatu representasi dari sebuah keberbedaan, yang didalamnya terjadi proses penolakan (disavowal). Maka mimikri adalah suatu artikulasi ganda, sebuah strategi rumit terhadap perubahan, peraturan dan disiplin, dengan ‘menyetarakan’ (appopriates ) sang lain (the Other) sebagai bentuk kekuatan visual. Peminjaman citraan ikonik dipilih penulis sebagai acuannya untuk kepentingan simbolik mengenai nilai-nilai yang saling bercampur aduk, antara rasa kagum sekaligus benci, mengimajinasikan kisah yang baru dan seterusnya.
Sebagaimana menurut Paul Klee dalam Murianto R.A yang dikemukakan: “Seni tidak hanya mengungkapkan sesuatu yang terlihat oleh indra mata saja, seni tercipta dari yang tidak tampak menjadi tampak. Bagi Paul Klee pemikiran terhadap alam tidak penting , biarlah alam menciptakan fenomena yang ada tapi seni harus dihadirkan di atas alam itu sebagai tanda bahwa seni itu adalah imajinasi seniman yang kaya dengan corak, ide, dan fantasi. Seni bukan yang indah-indah saja yang memang sudah diciptakan oleh alam itu sendiri, melainkan apa saja yang dilahirkan sebagai wujud oleh seniman.”
Dengan demikian, Suwage menjelajahi kompleksitas praktek penciptaan dalam membentuk citra tentang figur-figur para pesohor yang dipilihnya sebagai ide dalam penciptaan subjek-subjek baru dalam karya. Kompleksitas tersebut melingkupi penafsiran dan artikulasi pengetahuan mengenai figur-figur yang dipilihnya untuk menciptakan nilai – nilai unik yang khas dalam karyanya.
Penciptaan karya-karya Suwage jelas muncul karena adanya keinginan untuk menyampaikan gagasannya melalui media karya seni. Figur-figur para pesohor yang sedang merokok tersebut digunakannya sebagai representasi visual maupun simbol yang merupakan refleksi gagasannya mengenai rokok, kehidupan dan foto ikonik penyair Chairil Anwar yang sedang merokok. Tentu saja Suwage membuat visualisasi figur-figur pesohor tersebut dengan bantuan referensi dari berita melalui media cetak dan elektronik yang bersumber dari foundation, galeri, maupun museum yang telah merekam perjalanan karir dari para figur pesohor tersebut karena visualisasinya diambil dari foto-foto ikonik mereka.
Menggagas ciptarupa figur para pesohor yang sedang merokok berdasarkan puisi Chairil Anwar sebagai gagasan penciptaan karya Suwage menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Dalam proses ciptarupa dengan didasarkan pada pengamatan terhadap 27 figur para pesohor dari berbagai sumber, Suwage juga melakukan pengenalan karakteristik yang diperkuat tajuk permasalahan daya ungkap sebagai muara imajinasi yang ditunjang kemampuan teknis berkarya. Dari kondisi tersebut, ia melakukan pencarian makna akan karyanya yang mengarah pada kesimpulan bahwa figur pesohor dapat dieksplorasi dalam menjelajah gagasan yang bersumber dari puisi Chairil Anwar mengenai kematian dan keabadian. 27 konon dianggap sebagai usia rawan bagi para seniman, sebab sangat banyak seniman tersohor yang bunuh diri di usia ini. Mitos ini dihadirkan Suwage dengan kolerasi yang baik pada pemaparan konsep mengenai keabadian seni dan kematian raga sang seniman. Dengan adanya ciptarupa di bawah ranah teknologis, ada konstruksi pandangan baru bagi para seniman dan akademisi untuk menjelajahi dan menemukan nilai dan imaji berbeda dalam upaya pencarian jati diri dalam praktek seni rupa kontemporer yang semakin luas batasannya.
Kajian Literatur
Appadurai, Arjun. Disjuncture and Difference In the Global Cultural Economy. The Cultural Studies Reader, London: Routledge, 1993
Fermigier, André, Picasso: Le Livre de Poche, Paris: Librarie Générale Française, 1969
Hartoko, Dick. Manusia dan Seni, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Hebert, Kurt, The Complete Book of Artist’s Techniques, New York: Themes and Hudson, 1958
Janson, Horst Woldemar, History of Art: A Survey of Major Visual Arts from the Dawn of History to the Present Day, New York: Harry N. Abrams Incorporated, 1977
K. Bhabha, Homi, Mimicry of Man, Location of Culture, Routledge: London, 1994
Kartika, Sony Dharsono, Seni Rupa Modern, Bandung: Rekayasa Sains, 2004
Kennedy, R., The Elusive Human Subject, London: Free Association Books, 1998
Kraus, Warner, “Raden Saleh Di Jerman” dalam Jurnal Kalam No: 21, 2004
Larenz, Anton, Soundtrack: Solo Exhibition Yayat Surya, Jakarta: Sri Sasanti Art House, 2009
Lucie-Smith, Edward, Art today: from abstract expressionism to superrealism, Michigan: Phaidon, 1977
Martin, Tim, Essential Surrealists, London: Foundry Design and Production, 1999
Nelson, Robert S., Critical Terms for Art History. USA: The University of Chicago Press, 2003
Perbakawatja dan Harahap, Ensiklopediks Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981
Selz, Peter, Art in Our Times: A Pictorial History 1890-1980, New York: Harry N. Abrams Incorporated, 1981
Soedarso, Sp., Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, Yogyakarta: Saku Dayar Sana, 1990
Susanto, Mikke, Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa, Yogyakarta: Kanisius, 2000