Pahlawan Nasional dari Jawa Barat di Bidang Pendidikan dan Emansipasi Perempuan - Raden Dewi Sartika
Sekalipun Kartini dan Dewi Sartika mendapat dukungan pemerintah Hindia Belanda, mereka bergerak melalui dorongan hati untuk selesaikan masalah nyata yang dihadapi perempuan. Kartini melihat masalah feodalisme dan kolonialisme yang dilihat dan dirasakan di lingkup tempat tinggal dengan kaca mata penyelesaian melalui nasionalisme dan feminisme.
Dewi Sartika melihat dengan kepala sendiri bagaimana perempuan diperlakukan sebagai barang yang mudah dipermainkan dan dibuang oleh pria bangsawan di rumah pamannya. Penyelesaian yang dilihat oleh Dewi adalah pendidikan keterampilan hidup sebagai perempuan yang akan menjadi ibu dan istri.
Pandangan Dewi Sartika terhadap ide feminisme tidak sejelas Kartini. Sekalipun Dewi Sartika melakukan dobrakan tradisi dengan membuka sekolah modern. Hal itu dilakukan dalam kerangka memberi bargaining power pada perempuan agar becus menjadi istri dan ibu. Terlihat dari nama sekolah yang didirikan yakni Sakola Istri yang kemudian diubah menjadi Sakola Kautamaan Istri. Dewi Sartika percaya pada penguasaan keterampilan perempuan akan membebaskan perempuan. Ketrampilan itulah yang akan melindungi perempuan ketika pasangannya membuang atau meninggalkannya.
Dewi Sartika tegas menghadapi poligami. Ia menolak lamaran bangsawan Banten dan sepupu yang telah beristri. Suaminya adalah pilihannya yang semula ditolak oleh keluarga. Ketegasan terhadap ibu dan saudara dalam urusan perkawinan bukan karena ia anak dari istri padmi/utama. Namun karena ia terpisah lama dengan keluarga dan hidup disejajarkan sebagai abdi dalem di rumah pamannya selama sembilan tahun. Ibunya yang tidak ada bersamanya ketika kecil memberi inspirasi tentang bagaimana menjadi ibu yang baik melalui pendidikan yang digagas dan dilaksanakan.
Dewi Sartika tidak dekat dengan ibu dan saudaranya, apalagi dengan ayahnya yang dipenjara di Ternate ketika ia berumur sembilan tahun karena memberontak sebagai patih Kota Bandung. Lain dengan Kartini yang begitu dekat dan akrab dengan ayah maupun kakaknya. Mereka inilah yang membuka akses Kartini memasuki dunia modern melalui bacaan yang tak dibatasi untuk dibacanya. Jadi Kartini dan Dewi Sartika tidak bisa diperbandingkan. Mereka sama-sama pecinta ilmu pengetahuan dan percaya ilmu pengetahuan sebagai pembebas.
Kartini menggali ilmu pengetahuan melalui bacaan sedangkan Dewi Sartika melalui mengasah keterampilan keperempuan. Ia pernah belajar membatik dari Kardinah, saudari R.A. Kartini di Kendal. Kartini dan Dewi Sartika mengambil peran bermakna dalam pemberdayaan perempuan dengan menjadi pelopor perempuan Indonesia memasuki abad modern.
Dewi Sartika sekolah di Eerste Klasse School sampai umur 9 tahun sehingga membuat ia tidak selesaikan Sekolah Dasar. Namun ia berhasil menjadi pendidik dan pengelola sekolah yang kompeten. Murid-murid Dewi Sartika begitu banyak dan kebanyakan mereka dari keluarga dengan penghasilan rendah.
Berkat pengalamannya menjadi pendidik sejak kecil di rumah pamannya yang kemudian dilanjutkan di rumah orangtua dan bupati sakhirnya ia bisa membeli gedung sekolah. Bupati, pemerintah Hindia Belanda, dan Perhimpunan Keutamaan Istri membantu legalitas sekolah Dewi dan menyediakan perlengkapan sekolah kemudian mengembangkan sekolah serupa ke berbagai kota di Jawa Barat. Tahun 1929 Dewi Sartika mendapat hibah gedung dari pemerintah Hindia Belanda.
Suami Dewi Sartika bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata yang adalah guru Eerste Klasse School, sang pendukung setia Dewi. Raden Kanduruan adalah Pendiri Syarikat Islam di Bandung yang memungkinkan Dewi bertemu H.O.S. Tjokroaminoto. Dukungan luas untuk menyekolahkan anak ke sekolahnya juga ditunjang kecerdikan Dewi dalam mentransformasi ajaran Sunda tentang Cageur-Bageur dalam mendidik anak yang intinya membuat anak sehat berbudi dan berperilaku baik.
Dewi Sartika berhasil menjadi tokoh pendidik perempuan sehingga pemerintah Hindia Belanda memberi anugerah penghargaan perak tahun 1922 dan penghargaan emas pada tahun 1939. Pemerintah Indonesia juga menganugerahi gelar pahlawan pada tahun 1966. Kini nama Dewi Sartika menjadi nama jalan di berbagai kota di Indonesia dan didirikan Yayasan Awika (Ahli Waris Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika dan Agah Suriawinata) di Bandung. *Teks oleh Esthi Susanti Hudiono.
Lukisan oleh Seruni Bodjawati. Judul: Hikayat Sang Guru Sejati (Dewi Sartika). Ukuran lukisan: 130 x 100 cm. Cat akrilik pada kanvas. 2018. Available.