Pameran tunggal Seruni Bodjawati bertajuk “Perempuan-Perempuan Menggugat” sukses dihadiri ratusan pengunjung saat pembukaannya diselenggarakan di Cemara 6 Galeri-Museum, jalan HOS Cokroaminoto No. 9-11 Jakarta Pusat pada tanggal 21 Agustus 2019. Cemara 6 Galeri-Museum dan SEA Junction menyelenggarakan acara ini dengan peresmian oleh Kamala Chandrakirana (aktivis, intelektual sosial dan Hak Asasi Perempuan) yang sekaligus menjadi key note speakers bertajuk “Kepemimpinan Perempuan Indonesia”.
Dalam masa pameran tunggal Seruni yang berlangsung hingga 31 Agustus 2019, ada 5 event yang berisi 3 event diskusi interaktif (Perjuangan Perempuan dalam Berbagai Dimensi dalam 2 sesi dan Narasi Inggit Garnasih, Perempuan Tak Sudi Dimadu), bedah buku dan Pemutaran Film dan Diskusi Tokoh yang difilmkan. Diskusi interaktif Perjuangan Perempuan dalam Berbagai Dimensi dibahas 6 nara sumber yang bicara tentang Refleksi Toeti Heraty dan Rainha Boki Raja, Rainha Boki Raja Perspektif Sosiologi dari Putra Daerah Ternate, Perempuan Manula, Peranan Tionghoa dalam MengIndonesia, Gerakan LSM di Indonesia, Sekolah Perempuan dan Gender Watch.
Pameran Tunggal dan Peluncuran Buku ini selain merupakan event seni juga menjadi event budaya. Ada proses kerja kreatif yang menghasilkan 3 karya yakni Lukisan, Buku dan Kolaborasi dalam proses yang berlangsung semenjak awal karya dimulai hingga berlanjut terus dalam spirit kesetaraan, keadilan dan martabat perempuan. Dialog tokoh sejarah Perempuan direncanakan akan berlanjut dengan generasi muda dari berbagai tempat setelah peluncuran dilangsungkan. Proyek ini juga menghasilkan metode kolaborasi bernama LITERASI RUPA.
Karya rupa yang dihasilkan Seruni yang dipamerkan secara tunggal ini terdiri dari 29 tokoh sejarah perempuan yang hidup di tahun 833 sampai dengan tahun 2019 (berlangsung selama 1186 tahun) yang dikatagorikan ke dalam 9 jaman yakni pra kolonial, VOC, Hindia Belanda, Jepang, Masa Perang Kemerdekaan, Liberal, Demokrasi Terpimpin/Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Kesemua tokoh ini dilukis Seruni Bodjawati dalam semangat Menghidupkan yang Terlupakan. Karena itu lukisan Seruni lebih menampilkan sosok dalam bentuk narasi dengan simbol dan latar belakang yang ditangkap oleh Seruni dalam studi yang dilakukan sendiri dan melalui dialog dengan kurator kontennya.
Yang paling menarik dari karya rupa Seruni Bodjawati adalah ia menjadi pencipta wajah Rainha Boki Raja. Ratu Ternate yang hidup di awal kolonialisme Nusantara di mana Ternate dan Tidore sebagai pintu gerbang kolonial di Nusantara. Ratu yang sama sekali terlupakan. Ia mulai dihidupkan oleh Ibu Paramita Abudrrachman, peneliti LIPI yang merujuk dokumen yang ada di Portugal. Lalu Ibu Toeti Heraty melanjutkan dengan menerbitkan buku tentang Rainha Boki Raja dalam bentuk prosa lirik. Penghidupan sosok ini menyadarkan tentang soal masa lalu yang belum selesai dipecahkan. Sosok ini seharusnya juga diepikkan seperti Cut Nyak Dhien.
Karya Buku yang berjudul “Perempuan-Perempuan Menggugat , Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia”ditulis Esthi Susanti melalui studi literatur dan dialog dengan orang yang paham tentang tokoh perempuan Indonesia. Yang tak terduga dari kerja intensif Esthi sejak Oktober 2017 hingga April 2019 dalam melakukan studi adalah begitu banyak temuan yang mengejutkan.
Temuan reflektif tersebut antara lain pertama adalah feminisme justru ada di tatanan lama Nusantara. Pengkritik yang menyatakan bahwa feminisme berasal dari barat dan bukan berasal dari budaya lokal telah melakukan kesalahan. Mereka bicara di atas struktur patriarki Eropa dan Timur Tengah yang beroperasi dalam sistem Indonesia modern. Temuan tatanan kuno yang bercorak matriarki ini berasal dari temuan sejarawan Oxford ahli Diponegoro bernama Peter Carey. Temuan Peter dilanjutkan oleh Esthi yang menemukan ide yang sama. Hal ini bisa dilihat dari cerita Panji dan Sekartaji dan Jawa masa lalu tidak punya nama keluarga, artefak lingga yoni yang memberi keseimbangan feminitas dan maskulinitas.
Temuan kedua ibuisme yang bertransformasi mulai jaman KOWANI ke jaman Orde Baru yang kemudian diambil oleh jaman reformasi menjadi kunci adanya kemajuan parsial pada isu perempuan. Perempuan kontemporer nampak telah mencapai kemajuan pesat namun sesungguhnya kemajuan yang dicapai baru di tataran fungsional. Perempuan Indonesia belum menemukan jalan yang lazim untuk bisa melakukan transendensi untuk menjadi perempuan utuh yang merdeka. Kemajuan yang setengah hati yang dicapai perempuan ini menjelaskan mengapa perempuan bisa menjadi agen dari nilai-nilai fundamentalisme yang sekarang sejak menanjak terus jumlahnya. Studi yang ada menunjukkan bahwa guru perempuan ternyata menjadi agen dari nilai-nilai konservatisme tersebut. Pendidikan untuk perempuan mempunyai lubang yang menggeroti potensinya untuk menjadikan perempuan sebagai agen kemajuan dalam sistem demokrasi yang ada.
Karya ketiga yang bukan berupa bendawi adalah kolaborasi dengan begitu banyak orang. Kolaborasi yang dimulai dari generasi senior ke generasi yunior dalam nilai kesetaraan, keadilan dan martabat dari perupa dan penulis. Lalu kolaborasi berlanjut dengan ilmuwan, aktivis, Jurnal Perempuan dan lembaga seni budaya bernama Cemara Galeri 6 Museum dan SEA Junction. Semuanya berproses dalam kolaborasi yang kemudian mengajak tokoh kontemporer yang dilukis terlibat termasuk intelektual dan aktivis perempuan muda dilibatkan untuk memberi respon di acara pameran dan peluncuran. Setelah acara ini dialog akan dilanjutkan. Dialog ditujukan kepada generasi muda agar mereka mengenali sejarah perempuan yang selama ini dilupakan dalam penulisannya. Melalui pengenalan diri sebagai bangsa diharapkan mereka bisa membangun diri dan masa depan. Beberapa tempat seperti Surabaya, Salatiga, Yogyakarta dan Malang telah siap untuk bincang buku dan lukisan ini.
Dapatkan katalog official dari pameran ini dan buku Perempuan-Perempuan Menggugat melalui +6285602897020 (WhatsApp), e-mail serunibodjawati@gmail.com, atau Direct Message Instagram @seruni_bodjawati